..."Jika suatu saat kau pergi sekolah ke
Kanada, jangan lupa untuk mengenakan jaket yang tebal tatkala musim dingin
menyerang. Andai cuaca di Kanada hanya panas, dapat teratasi dengan AC di balik
ruangan. Namun jika cuaca dingin menggigit kulit tubuh kita, aneh rasanya jika
diatasi dengan pemanas ruangan, namun keindahan musim semi tak akan pernah kau
lupakan"...ungkap beliau di tengah perkumpulan yang kami adakan. Sesosok
yang sederhana, namun penuh wibawa dan kerendahan hati. Pengamat sosial masyarakat.
Lulusan budaya pesantren agama yang kental. Serius namun tetap dapat bercanda.
Sosok yang menjunjung tinggi pribadi dan akhlak mulia. Cendekiawan sekaligus
professor muda. Bapak guru kami tercinta yang akan saya sebut namanya di akhir
kata.
Mengawali
pembicaraan beliau mengantarkan sejenak dengan motivasi semangat menuntut ilmu.
Kanada, yang menjadi pilihan beliau pada saat studi pasca sarjana, dan Negeri
kincir angin, menjadi pilihan beliau pada S3. Satu-satunya orang Indonesia yang
terpilih ketika seleksi masuk perguruan tinggi amat bergengsi di masa beliau.
Tahun 2000-an yang sudah ketat persaingan. Memang, hidup penuh persaingan,
perlombaan, untuk menjadi yang terbaik dan paling mampu untuk bertahan (survive).
Berlomba dengan diri sendiri, untuk senantiasa menjadi lebih baik, hari demi
hari. Berlomba dengan manusia lainnya, mengasah keunggulan, dengan cara yang
sportif, tidak saling menginjak, namun tetap saling memberi dorongan satu sama
lain.
Perubahan
zaman yang bermula dari era agraris (pertanian), berlanjut era industri, dan
kini era teknologi dan informasi yang sangat canggih. Dunia yang dulunya bulat,
sekarang disebut flat. Alias dunia sekarang adalah datar. Sekat ruang
dan waktu dapat dijangkau hanya dengan hitungan per mili-detik. Surfing
on the Internet. Berselancar yang sangat mengasyikan, menerjang ombak yang
kadang dapat membawa kesenangan, dan tidak sedikit pula kesengsaraan.
Perbandingan lurus antara positif dan negatif, hampir-hampir sama besarannya.
Pada akhirnya, diri sendiri-lah yang harus lebih pintar dalam mengatur ponsel
pintar (smart-phone). Budaya masyarakat yang semakin konsumtif dan
hedonis, mudah tergiur oleh bujuk rayu aneka iklan yang terpampang dan tak
terhitung jumlahnya. Kesenjangan hidup masyarakat yang sangat kentara dirasakan.
Si kaya versus si miskin. Yang kaya kadang tambah kaya, atau sampai pada kaya
itu saja, dan yang miskin, mewariskan kemiskinannya turun-temurun. Keserakahan
harta yang tidak berkesudahan, akibat jauhnya tuntunan agama dalam keseharian.
Sejatinya dunia dan seisinya mampu memenuhi kebutuhan manusia di dalamnya,
dengan lebih dari cukup, namun ketamakan tadi mengalahkan kecukupan itu
sendiri. Pemuasan hawa nafsu dan akal semata. Bukan pada kekayaan dan
kebahagiaan nurani hati. Kekayaan alam yang rakus dalam eksploitasi, dimana
keuntungannya, hanya dirasakan sesaat saja bagi segelintir masyarakat. Batu
bara, penebangan hutan liar, mengakibatkan kerusakan jangka panjang. Lupa akan
tanggung jawab, kode etika, nilai moral, akhlak terhadap alam, manusia, terlebih
kepada Tuhan yang menciptakannya. Sangat dirasakan akan cerminan dari spirit
dan ruh agama yang rendah. Ibadah yang dijalankan hanyalah saja ibadah, seakan
tidak ada pemaknaan dan kekhusyu'an di dalamnya.
Kembali pada
negeri ku. Di mana pembehanan besar-besaran harus serius dilaksanakan.
Negeri-ku yang memiliki sejarah kemerdekaan yang hebat luar biasa. Pencapaian
kedaulatan yang diraih dengan semangat persatuan dan kesatuan, di tambah sikap
keberagamaan yang tinggi. Maka tidaklah berlebihan, jika negeri-ku diberkahi
oleh Tuhan. Banyak yang mengatakan Indonesia adalah titisan dari setitik surga.
Hanya setitik. Pulau-pulau yang banyak terbentang, berjarak tidak dekat,
suku-suku yang beraneka ragam, dan bahasa yang bermacam-macam. Semua menjadi
saksi atas kebersamaan dalam perjuangan. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku
bangga jadi orang Indonesia. Aku memiliki sejarah yang mulia. Perebutan negeri
yang dilawan dengan tumpah darah para pahlawan.
Hanya saja
kemudian. Dari kacamataku, entah karena rapuhnya keimanan. Semangat berilmu
yang tidak diamalkan. Atau sisa-sisa mind-set penjajahan. Indonesia-ku
entah bagai angan untuk sampai pada kemakmuran dan kesejahteraan secara
keseluruhan. Terlalu sulit untuk memikirkan solusi dari segala permasalahan
tersebut. Ibarat akar, yang sudah tertanam kuat. Pembersihan tindak korupsi,
narkoba, prostitusi, dan mental disorder lainnya. Patologi sosial yang
terus berkembang. Maka tidak lah salah pula, jika di mulai dari introspeksi
pribadi diri sendiri. Kita harus bangun dari nyenyaknya tidur. Pendidikan
sebagai kunci utama dalam mengatasi kebodohan, mengentaskan kemiskinan, dan
jalan menuju kemajuan. Kita perlu kesamaan dalam pendidikan (equal
education), merata dengan fasilitas yang sama, tenaga guru yang prima dan
disinilah pentingnya insklusifitas pendidikan. Andai kita dapat langsung
mencontoh seperti jalannya negara maju, di mana pendidikan adalah prioritas
primer dalam anggaran, dan kesehatan menempati rangking kedua sesudahnya.
Karena pendidikan dan kesehatan adalah modal utama dalam menumbuh-kembangkan
sumber daya manusia yang unggul dan berprestasi.
Budaya
kesungguhan belajar dan sekuat mungkin melawan arus hegemoni agar tidak
terlarut di dalam permainannya. Di ujung penekanan adalah pondasi pendidikan
agama yang harus menjadi tiang bagi setiap -mahasiswa khususnya- demi masa
depan yang cerah. Kita tidak banyak muluk untuk menunggu menjadi presiden yang
memiliki kekuasaan dan paksaan. Di negeri Islam terbesar yang amat demokratis
ini, menjadi ulama yang intelek-pun dapat membantu kegalauan yang adalah di
masyarakat dan terkadang perkataan mereka lebih cepat untuk di dengar dan
dipatuhi. Pemimpin dalam teori politik, adalah seorang yang dicintai dan
ditakuti. Namun dalam Islam pemimpin adalah sosok yang dicintai karena kearifannya
dan ditaati karena kepatuhan dan kesadarannya.
Bersama
beliau, bapak Mujiburrahman, dalam menyongsong masa depan yang lebih baik.