Jumat, 28 Oktober 2016

Secercah Cahaya Bersama Professor Sosiologi Agama

..."Jika suatu saat kau pergi sekolah ke Kanada, jangan lupa untuk mengenakan jaket yang tebal tatkala musim dingin menyerang. Andai cuaca di Kanada hanya panas, dapat teratasi dengan AC di balik ruangan. Namun jika cuaca dingin menggigit kulit tubuh kita, aneh rasanya jika diatasi dengan pemanas ruangan, namun keindahan musim semi tak akan pernah kau lupakan"...ungkap beliau di tengah perkumpulan yang kami adakan. Sesosok yang sederhana, namun penuh wibawa dan kerendahan hati. Pengamat sosial masyarakat. Lulusan budaya pesantren agama yang kental. Serius namun tetap dapat bercanda. Sosok yang menjunjung tinggi pribadi dan akhlak mulia. Cendekiawan sekaligus professor muda. Bapak guru kami tercinta yang akan saya sebut namanya di akhir kata.
Mengawali pembicaraan beliau mengantarkan sejenak dengan motivasi semangat menuntut ilmu. Kanada, yang menjadi pilihan beliau pada saat studi pasca sarjana, dan Negeri kincir angin, menjadi pilihan beliau pada S3. Satu-satunya orang Indonesia yang terpilih ketika seleksi masuk perguruan tinggi amat bergengsi di masa beliau. Tahun 2000-an yang sudah ketat persaingan. Memang, hidup penuh persaingan, perlombaan, untuk menjadi yang terbaik dan paling mampu untuk bertahan (survive). Berlomba dengan diri sendiri, untuk senantiasa menjadi lebih baik, hari demi hari. Berlomba dengan manusia lainnya, mengasah keunggulan, dengan cara yang sportif, tidak saling menginjak, namun tetap saling memberi dorongan satu sama lain.
Perubahan zaman yang bermula dari era agraris (pertanian), berlanjut era industri, dan kini era teknologi dan informasi yang sangat canggih. Dunia yang dulunya bulat, sekarang disebut flat. Alias dunia sekarang adalah datar. Sekat ruang dan waktu dapat dijangkau hanya dengan hitungan per mili-detik. Surfing on the Internet. Berselancar yang sangat mengasyikan, menerjang ombak yang kadang dapat membawa kesenangan, dan tidak sedikit pula kesengsaraan. Perbandingan lurus antara positif dan negatif, hampir-hampir sama besarannya. Pada akhirnya, diri sendiri-lah yang harus lebih pintar dalam mengatur ponsel pintar (smart-phone). Budaya masyarakat yang semakin konsumtif dan hedonis, mudah tergiur oleh bujuk rayu aneka iklan yang terpampang dan tak terhitung jumlahnya. Kesenjangan hidup masyarakat yang sangat kentara dirasakan. Si kaya versus si miskin. Yang kaya kadang tambah kaya, atau sampai pada kaya itu saja, dan yang miskin, mewariskan kemiskinannya turun-temurun. Keserakahan harta yang tidak berkesudahan, akibat jauhnya tuntunan agama dalam keseharian. Sejatinya dunia dan seisinya mampu memenuhi kebutuhan manusia di dalamnya, dengan lebih dari cukup, namun ketamakan tadi mengalahkan kecukupan itu sendiri. Pemuasan hawa nafsu dan akal semata. Bukan pada kekayaan dan kebahagiaan nurani hati. Kekayaan alam yang rakus dalam eksploitasi, dimana keuntungannya, hanya dirasakan sesaat saja bagi segelintir masyarakat. Batu bara, penebangan hutan liar, mengakibatkan kerusakan jangka panjang. Lupa akan tanggung jawab, kode etika, nilai moral, akhlak terhadap alam, manusia, terlebih kepada Tuhan yang menciptakannya. Sangat dirasakan akan cerminan dari spirit dan ruh agama yang rendah. Ibadah yang dijalankan hanyalah saja ibadah, seakan tidak ada pemaknaan dan kekhusyu'an di dalamnya.
Kembali pada negeri ku. Di mana pembehanan besar-besaran harus serius dilaksanakan. Negeri-ku yang memiliki sejarah kemerdekaan yang hebat luar biasa. Pencapaian kedaulatan yang diraih dengan semangat persatuan dan kesatuan, di tambah sikap keberagamaan yang tinggi. Maka tidaklah berlebihan, jika negeri-ku diberkahi oleh Tuhan. Banyak yang mengatakan Indonesia adalah titisan dari setitik surga. Hanya setitik. Pulau-pulau yang banyak terbentang,  berjarak tidak dekat, suku-suku yang beraneka ragam, dan bahasa yang bermacam-macam. Semua menjadi saksi atas kebersamaan dalam perjuangan. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku bangga jadi orang Indonesia. Aku memiliki sejarah yang mulia. Perebutan negeri yang dilawan dengan tumpah darah para pahlawan.
Hanya saja kemudian. Dari kacamataku, entah karena rapuhnya keimanan. Semangat berilmu yang tidak diamalkan. Atau sisa-sisa mind-set penjajahan. Indonesia-ku entah bagai angan untuk sampai pada kemakmuran dan kesejahteraan secara keseluruhan. Terlalu sulit untuk memikirkan solusi dari segala permasalahan tersebut. Ibarat akar, yang sudah tertanam kuat. Pembersihan tindak korupsi, narkoba, prostitusi, dan mental disorder lainnya. Patologi sosial yang terus berkembang. Maka tidak lah salah pula, jika di mulai dari introspeksi pribadi diri sendiri. Kita harus bangun dari nyenyaknya tidur. Pendidikan sebagai kunci utama dalam mengatasi kebodohan, mengentaskan kemiskinan, dan jalan menuju kemajuan. Kita perlu kesamaan dalam pendidikan (equal education), merata dengan fasilitas yang sama, tenaga guru yang prima dan disinilah pentingnya insklusifitas pendidikan. Andai kita dapat langsung mencontoh seperti jalannya negara maju, di mana pendidikan adalah prioritas primer dalam anggaran, dan kesehatan menempati rangking kedua sesudahnya. Karena pendidikan dan kesehatan adalah modal utama dalam menumbuh-kembangkan sumber daya manusia yang unggul dan berprestasi.
Budaya kesungguhan belajar dan sekuat mungkin melawan arus hegemoni agar tidak terlarut di dalam permainannya. Di ujung penekanan adalah pondasi pendidikan agama yang harus menjadi tiang bagi setiap -mahasiswa khususnya- demi masa depan yang cerah. Kita tidak banyak muluk untuk menunggu menjadi presiden yang memiliki kekuasaan dan paksaan. Di negeri Islam terbesar yang amat demokratis ini, menjadi ulama yang intelek-pun dapat membantu kegalauan yang adalah di masyarakat dan terkadang perkataan mereka lebih cepat untuk di dengar dan dipatuhi. Pemimpin dalam teori politik, adalah seorang yang dicintai dan ditakuti. Namun dalam Islam pemimpin adalah sosok yang dicintai karena kearifannya dan ditaati karena kepatuhan dan kesadarannya.
Bersama beliau, bapak Mujiburrahman, dalam menyongsong masa depan yang lebih baik.