“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk
mimpi-mimpimu...” Andrea Hirata. Tepat dua bulan yang lalu (Agustus), aku berada di
Jogjakarta untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi di salah satu Universitas
Islam Negeri terkemuka di Jogja. Setelah mengikuti serangkaian tes yang sesuai
dengan standar program Magister yang aku ambil, dengan waktu keberadaan di
Jogja yang tersisa, aku ‘harus’ menyempatkan diri untuk mengunjungi Prambanan
temple dan melihat-lihat tempat wisata unggulan Jogja tersebut. Ketika itu aku
berjumpa dengan banyak sekali turis-turis asing dari negara tetangga sampai
Eropa. Mereka datang untuk melihat ‘eksotisme’ yang sering dilabelkan terhadap
negara-negara di Asia terlebih Indonesia. Memang Indonesia bak titisan dan
pancaran surga duniawi. Namun penamaan ‘eksotisme Indonesia’ lambat laun menuai
pro-kontra di kalangan para sosiolog dan akademisi. (Actually bukan ini
main-point yang ingin ku ceritakan kali ini, but this is about the power of dream).
Tidak hanya diri ini yang takjub dengan desain
kedetilan dan halusnya arsitektur masyarakat Hindu pada abad terdahulu, wisatawan
asing pun bahkan mengakuinya. Bagaimana cara kerja masyarakat zaman bahari
yang dapat menciptakan ukiran sedemikian indah. Hal ini pun tak disangkal bahwa
kemajuan teknologi itu sudah ada sejak lama. Namun hingga abad millenium
sekarang ini belum ditemukan kejelasan referensi yang menunjukkan proses
tersebut. Tidak hanya Prambanan temple, bahkan Borobudur, dan Piramid
pun masih menyimpan misteri dan praduga tersendiri. Well, sepanjang
perjalanan mengelilingi luasnya area candi Prambanan, aku ingin sekali dapat
bisa berteman dengan para turis-turis asing tersebut. Aku ingin banyak bertanya
dengan mempraktikkan skill bahasa Inggris ku yang masih messy. Tapi
keinginan itu sangat kuat dan menjadi dream-list aku. Dan ketika aku
kembali ke Banjarmasin sembari menunggu pengumuman kelulusan, aku
bertanya-tanya dalam diri, luluskah aku nanti? Sebab aku ingin lebih lama
berada di Jogja, ingin mengembalikan dari ‘sebagian yang hilang’ kemaren. Ingin
total menjadi lebih baik dalam value akademik dan akhlak. Namun, ada
terbesit satu mimpi yang bagi orang lain hanyalah sebuah hal yang konyol. Aku ingin
kembali lagi untuk menengok candi Prambanan demi bisa bicara dengan turis
mancanegara. Terdengar sedikit lucu memang, sebab sejujurnya aku ingin lagi
dapat bisa mengobrol banyak dan lebih lama, bercengkrama dengan mereka (turis asing)
sekaligus mengukur dan memperlancar bahasa Inggris ku yang sudah lama
kehilangan proses.
Satu bulan berikutnya, puji syukur ke hadirat
Allah, aku pun dinyatakan lulus pada jurusan yang sejatinya memiliki tanggung
jawab besar untuk memperjuangkan hak-hak orang yang terpinggirkan dan
mengembalikan ‘pendidikan’ pada hakikatnya. Satu-satunya jurusan yang ada di PT
di Indonesia dan aku bersama enam orang teman lainnya sebagai angkatan pertama
yang memasuki ‘konsentrasi’ ini. Hari berganti minggu, dan minggu berganti
bulan. Perkuliahan dengan tugas artikel jurnal billingual language pun
terus menghadang. Di sela waktu luang, ketika itu ada pengumuman untuk
mengikuti seleksi wawancara berbahasa Inggris aktif untuk menjadi student-partners
bagi para mahasiswa/i Islamic Studies yang berasal dari Universitas
Goettingen based in Germany. Spontan aku langsung tertarik dan segra menuju
tempat dimana seleksi diadakan. Berbekal bahasa Inggris yang ‘seadanya’, aku
selalu akan mencoba bismillah. Sebab
dari modal ‘mencoba’ inilah, pada 2010 yang lalu pun aku diberi kesempatan
untuk terbang ke Abu Dhabi hingga Alexandria, Mesir. Setidaknya, jika Tuhan
belum ‘memeluk’ mimpi-mimpi tersebut, kita telah mengetahui dan dapat
memperbaiki dari apa yang kurang dalam diri kita. Kalau ayahku bilang,
setidaknya kamu bisa berbagi cerita kepada orang lain tentang pengalaman yang
telah kamu dapatkan. Kalau kakak ku bilang, kita tidak tahu dari ‘percobaan’
mana yang akan berhasil menjadi rezeki kita. Kata-kata itulah yang selalu ku
ingat dan ku pegang. You’ll never know till you’ve tried. Mengapa mundur
sebelum terjun ke medan perang. Paling tidak, akan lebih baik nantinya jika
kita telah mengetahui ‘bagaimana’ musuh-musuh kita. Belief and Trust. Keyakinan
dan kepercayaan diri kita terhadap Allah dan kemampuan diri sebagai ajang
latihan dan drive-motivation untuk be better ke depannya menjadi kunci
yang selalu memelihara mimpi dan harap ku. Finally, untuk kesekian kalinya
bersyukur itu memang tidak pernah ada kata berhenti. Aku bersama dengan
sembilan orang teman program pascasarjana lainnya dari tingkat yang
berbeda-beda terpilih untuk menjadi pendamping bagi delapan orang mahasiswa asal
Jerman tersebut selama dua minggu ke depan. First impression about them and their
first impression about us as an Indonesian scholars. Mereka terlihat sangat
mature, dan hal ini sangat terlihat dari sikap dan penampilan mereka
selama bersama kami. Tidak hanya itu, umur mereka pun sangat variatif, dan
sepertinya tidak ada masalah dalam hal usia (mau tua ataupun muda) meskipun
pertanyaan tentang umur adalah sebuah hal yang personal und privacy. Perbedaan
budaya yang membentuk karakter masing-masing pribadi. Namun pada umumnya, salah
satu budaya barat tentang kemandirian-lah yang menuntut mereka menjadi dewasa dalam
sikap dan pergaulan (meski belum pada waktunya bagi kita di Indonesia). Mereka sangat
dapat menghargai waktu dan memang menjadi sebuah hal yang sangat lumrah sebagai
disiplin yang tinggi di luar negeri. Meski sekilas, apabila belum berkenalan
lebih dekat dengan mereka, akan nampak sikap yang dingin, kaku dan sedikit
cuek. Tingkat individual yang tinggi sebagaimana di Jerman, membuat mereka
terkesan sedikit ‘kurang ramah’. Ketika mereka mendapati orang-orang di
Indonesia, yang mayoritasnya ramah, murah senyum, mudah tertawa, suka menolong
dan cepat akrab dalam berteman, membuat mereka merasa hangat berada di
Indonesia. Setengah dari mereka yang datang ke UIN Sunan Kalijaga dalam rangka study
tour memang bukan Muslim, namun semangat dan antusias mereka untuk
mempelajari Islamic Studies di kawasan Asia Tenggara sangat tinggi. Tingkat
kritis dan curiousity mereka sangat terlihat dalam setiap session kelas
yang diberikan melalui pertanyaan-pertanyaan yang ditujukkan pada pemateri dan
kami sebagai mahasiswa. Mereka mencoba untuk membandingkan perbedaan
habitual yang ada di Indonesia dan Jerman. Mereka bertanya mengapa orang
Indonesia tidak membiasakan pakai sepeda untuk pergi kemana-mana, mengapa kemudi
supir di sebelah kanan, mengapa jalan di sebelah kiri, sampai pada mengapa
tidak ada agama Yahudi secara official di Indonesia. Mereka bak seorang
pengembara yang masih mencari kebenaran siapa Tuhannya, dan hal ini dituturkan
oleh salah satu mahasiswi Jerman dengan jujurnya. Jika berbicara masalah agama
di ruang publik di luar negeri pada umumnya adalah hal yang tabu dan hanya akan
membuat kita kehilangan teman, maka di Indonesia tidak demikian. Itulah yang
mereka suka, disamping tempat indah wisata, dan makanan khas Indonesia yang
berbagai rasa. (they like to eat Bakwan karena isinya adalah sayur), sejatinya
jiwa mereka adalah bebas. Bebas untuk berbuat apapun dan bebas untuk melakukan
apapun dalam batas kewajaran menurut pandangan mereka. Mereka yang kebanyakan
suka dengan travelling in Asia, tidak terlepas dari sikap kemandirian
mereka. Semoga segala kesan yang baik dari mereka bisa menjadi motivasi bagi
diri kami masing-masing. Semangat mereka yang tinggi untuk mempelajari Islamic
Studies itu sendiri, bersusah payah untuk menghafalkan kosakata bahasa Arab
demi literatur penunjang akademik, kemandirian mereka dalam hidup, bekerja
untuk tidak ketergantungan pada keluarga lagi, menabung tahunan untuk dapat travelling
keliling dunia, budaya dan kualitas disiplin akademik yang kritis, bisa
mendorong diri ini khususnya menjadi lebih baik lagi. Dan semoga budaya khas
Indonesia pada umumnya, yang menjunjung kearifan lokal, kesopanan dan
kesantunan dapat dibawa dalam alam bawah sadar diri mereka pula. Pembatasan pergaulan
antara laki-laki dan perempuan yang masih menjadi perbedaan yang mencolok
diantara kita dengan mereka. Mereka yang sangat sulit untuk percaya dengan
orang lain. Mereka yang sangat selektif dalam memilih. Mereka yang tidak
terlalu concern dengan berbagai macam sosial media, hanya ada messenger
untuk komunikasi dengan international people dan whatsapp untuk
komunikasi yang lebih bersifat pribadi. (sangat berbeda dengan orang
Indonesia yang memakai semua jenis sosmed). Mereka yang hanya suka makan potatoes,
vegetable, and coffee dalam kesehariannya. Mereka yang sangat apresiasi
sekali pada sebagian dari kami yang telah belajar bahasa Arab sejak bangku
sekolah, turut membakar semangat kami untuk terus mempelajarinya lagi. Semua adalah
pembelajaran singkat dan perkenalan yang ingin ku bina lebih lanjut. Semoga kelak
Tuhan memeluk mimpi-mimpiku lainnya untuk dapat berada di antara mereka, suatu
saat suatu waktu dan dalam waktu dekat ini. Aamiin. Dan semoga mereka yang
masih ‘mencari’ menemukan hidayah-Mu segera. Terima kasih Tuhan Kau wujudkan
mimpi ini selalu lebih indah dengan cara yang indah dari setiap ekspektasi yang
manusia bayangkan. Dan sungguh, rencana-Mu benar-benar indah. Hanya terkadang
manusia tidak sabar dalam menikmati proses dan setiap perjalanan yang Kau
gariskan. Terima kasih untuk kesempatan berharga ini.
Auf Wiedersehen Lisa Marie Quelle, Lina Zimmermann, Helen
Busch, Shofia Mandemachi, Darius Hofmann, Sabri Gabri, Havin und
Raymond. We love you, see you in another occasion.