Sabtu, 08 Oktober 2016

Seminggu Bersama ‘Goettingen’



“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu...” Andrea Hirata. Tepat dua bulan yang lalu (Agustus), aku berada di Jogjakarta untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi di salah satu Universitas Islam Negeri terkemuka di Jogja. Setelah mengikuti serangkaian tes yang sesuai dengan standar program Magister yang aku ambil, dengan waktu keberadaan di Jogja yang tersisa, aku ‘harus’ menyempatkan diri untuk mengunjungi Prambanan temple dan melihat-lihat tempat wisata unggulan Jogja tersebut. Ketika itu aku berjumpa dengan banyak sekali turis-turis asing dari negara tetangga sampai Eropa. Mereka datang untuk melihat ‘eksotisme’ yang sering dilabelkan terhadap negara-negara di Asia terlebih Indonesia. Memang Indonesia bak titisan dan pancaran surga duniawi. Namun penamaan ‘eksotisme Indonesia’ lambat laun menuai pro-kontra di kalangan para sosiolog dan akademisi. (Actually bukan ini­ main-point yang ingin ku ceritakan kali ini, but  this is about the power of dream).
Tidak hanya diri ini yang takjub dengan desain kedetilan dan halusnya arsitektur masyarakat Hindu pada abad terdahulu, wisatawan asing pun bahkan mengakuinya. Bagaimana cara kerja masyarakat zaman bahari yang dapat menciptakan ukiran sedemikian indah. Hal ini pun tak disangkal bahwa kemajuan teknologi itu sudah ada sejak lama. Namun hingga abad millenium sekarang ini belum ditemukan kejelasan referensi yang menunjukkan proses tersebut. Tidak hanya Prambanan temple, bahkan Borobudur, dan Piramid pun masih menyimpan misteri dan praduga tersendiri. Well, sepanjang perjalanan mengelilingi luasnya area candi Prambanan, aku ingin sekali dapat bisa berteman dengan para turis-turis asing tersebut. Aku ingin banyak bertanya dengan mempraktikkan skill bahasa Inggris ku yang masih messy. Tapi keinginan itu sangat kuat dan menjadi dream-list aku. Dan ketika aku kembali ke Banjarmasin sembari menunggu pengumuman kelulusan, aku bertanya-tanya dalam diri, luluskah aku nanti? Sebab aku ingin lebih lama berada di Jogja, ingin mengembalikan dari ‘sebagian yang hilang’ kemaren. Ingin total menjadi lebih baik dalam value akademik dan akhlak. Namun, ada terbesit satu mimpi yang bagi orang lain hanyalah sebuah hal yang konyol. Aku ingin kembali lagi untuk menengok candi Prambanan demi bisa bicara dengan turis mancanegara. Terdengar sedikit lucu memang, sebab sejujurnya aku ingin lagi dapat bisa mengobrol banyak dan lebih lama, bercengkrama dengan mereka (turis asing) sekaligus mengukur dan memperlancar bahasa Inggris ku yang sudah lama kehilangan proses.
Satu bulan berikutnya, puji syukur ke hadirat Allah, aku pun dinyatakan lulus pada jurusan yang sejatinya memiliki tanggung jawab besar untuk memperjuangkan hak-hak orang yang terpinggirkan dan mengembalikan ‘pendidikan’ pada hakikatnya. Satu-satunya jurusan yang ada di PT di Indonesia dan aku bersama enam orang teman lainnya sebagai angkatan pertama yang memasuki ‘konsentrasi’ ini. Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Perkuliahan dengan tugas artikel jurnal billingual language pun terus menghadang. Di sela waktu luang, ketika itu ada pengumuman untuk mengikuti seleksi wawancara berbahasa Inggris aktif untuk menjadi student-partners bagi para mahasiswa/i Islamic Studies yang berasal dari Universitas Goettingen based in Germany. Spontan aku langsung tertarik dan segra menuju tempat dimana seleksi diadakan. Berbekal bahasa Inggris yang ‘seadanya’, aku selalu akan mencoba  bismillah. Sebab dari modal ‘mencoba’ inilah, pada 2010 yang lalu pun aku diberi kesempatan untuk terbang ke Abu Dhabi hingga Alexandria, Mesir. Setidaknya, jika Tuhan belum ‘memeluk’ mimpi-mimpi tersebut, kita telah mengetahui dan dapat memperbaiki dari apa yang kurang dalam diri kita. Kalau ayahku bilang, setidaknya kamu bisa berbagi cerita kepada orang lain tentang pengalaman yang telah kamu dapatkan. Kalau kakak ku bilang, kita tidak tahu dari ‘percobaan’ mana yang akan berhasil menjadi rezeki kita. Kata-kata itulah yang selalu ku ingat dan ku pegang. You’ll never know till you’ve tried. Mengapa mundur sebelum terjun ke medan perang. Paling tidak, akan lebih baik nantinya jika kita telah mengetahui ‘bagaimana’ musuh-musuh kita. Belief and Trust. Keyakinan dan kepercayaan diri kita terhadap Allah dan kemampuan diri sebagai ajang latihan dan drive-motivation untuk be better ke depannya menjadi kunci yang selalu memelihara mimpi dan harap ku. Finally, untuk kesekian kalinya bersyukur itu memang tidak pernah ada kata berhenti. Aku bersama dengan sembilan orang teman program pascasarjana lainnya dari tingkat yang berbeda-beda terpilih untuk menjadi pendamping bagi delapan orang mahasiswa asal Jerman tersebut selama dua minggu ke depan. First impression about them and their first impression about us as an Indonesian scholars. Mereka terlihat sangat mature, dan hal ini sangat terlihat dari sikap dan penampilan mereka selama bersama kami. Tidak hanya itu, umur mereka pun sangat variatif, dan sepertinya tidak ada masalah dalam hal usia (mau tua ataupun muda) meskipun pertanyaan tentang umur adalah sebuah hal yang personal und privacy. Perbedaan budaya yang membentuk karakter masing-masing pribadi. Namun pada umumnya, salah satu budaya barat tentang kemandirian-lah yang menuntut mereka menjadi dewasa dalam sikap dan pergaulan (meski belum pada waktunya bagi kita di Indonesia). Mereka sangat dapat menghargai waktu dan memang menjadi sebuah hal yang sangat lumrah sebagai disiplin yang tinggi di luar negeri. Meski sekilas, apabila belum berkenalan lebih dekat dengan mereka, akan nampak sikap yang dingin, kaku dan sedikit cuek. Tingkat individual yang tinggi sebagaimana di Jerman, membuat mereka terkesan sedikit ‘kurang ramah’. Ketika mereka mendapati orang-orang di Indonesia, yang mayoritasnya ramah, murah senyum, mudah tertawa, suka menolong dan cepat akrab dalam berteman, membuat mereka merasa hangat berada di Indonesia. Setengah dari mereka yang datang ke UIN Sunan Kalijaga dalam rangka study tour memang bukan Muslim, namun semangat dan antusias mereka untuk mempelajari Islamic Studies di kawasan Asia Tenggara sangat tinggi. Tingkat kritis dan curiousity mereka sangat terlihat dalam setiap session kelas yang diberikan melalui pertanyaan-pertanyaan yang ditujukkan pada pemateri dan kami sebagai mahasiswa. Mereka mencoba untuk membandingkan perbedaan habitual yang ada di Indonesia dan Jerman. Mereka bertanya mengapa orang Indonesia tidak membiasakan pakai sepeda untuk pergi kemana-mana, mengapa kemudi supir di sebelah kanan, mengapa jalan di sebelah kiri, sampai pada mengapa tidak ada agama Yahudi secara official di Indonesia. Mereka bak seorang pengembara yang masih mencari kebenaran siapa Tuhannya, dan hal ini dituturkan oleh salah satu mahasiswi Jerman dengan jujurnya. Jika berbicara masalah agama di ruang publik di luar negeri pada umumnya adalah hal yang tabu dan hanya akan membuat kita kehilangan teman, maka di Indonesia tidak demikian. Itulah yang mereka suka, disamping tempat indah wisata, dan makanan khas Indonesia yang berbagai rasa. (they like to eat Bakwan karena isinya adalah sayur), sejatinya jiwa mereka adalah bebas. Bebas untuk berbuat apapun dan bebas untuk melakukan apapun dalam batas kewajaran menurut pandangan mereka. Mereka yang kebanyakan suka dengan travelling in Asia, tidak terlepas dari sikap kemandirian mereka. Semoga segala kesan yang baik dari mereka bisa menjadi motivasi bagi diri kami masing-masing. Semangat mereka yang tinggi untuk mempelajari Islamic Studies itu sendiri, bersusah payah untuk menghafalkan kosakata bahasa Arab demi literatur penunjang akademik, kemandirian mereka dalam hidup, bekerja untuk tidak ketergantungan pada keluarga lagi, menabung tahunan untuk dapat travelling keliling dunia, budaya dan kualitas disiplin akademik yang kritis, bisa mendorong diri ini khususnya menjadi lebih baik lagi. Dan semoga budaya khas Indonesia pada umumnya, yang menjunjung kearifan lokal, kesopanan dan kesantunan dapat dibawa dalam alam bawah sadar diri mereka pula. Pembatasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang masih menjadi perbedaan yang mencolok diantara kita dengan mereka. Mereka yang sangat sulit untuk percaya dengan orang lain. Mereka yang sangat selektif dalam memilih. Mereka yang tidak terlalu concern dengan berbagai macam sosial media, hanya ada messenger untuk komunikasi dengan international people dan whatsapp untuk komunikasi yang lebih bersifat pribadi. (sangat berbeda dengan orang Indonesia yang memakai semua jenis sosmed). Mereka yang hanya suka makan potatoes, vegetable, and coffee dalam kesehariannya. Mereka yang sangat apresiasi sekali pada sebagian dari kami yang telah belajar bahasa Arab sejak bangku sekolah, turut membakar semangat kami untuk terus mempelajarinya lagi. Semua adalah pembelajaran singkat dan perkenalan yang ingin ku bina lebih lanjut. Semoga kelak Tuhan memeluk mimpi-mimpiku lainnya untuk dapat berada di antara mereka, suatu saat suatu waktu dan dalam waktu dekat ini. Aamiin. Dan semoga mereka yang masih ‘mencari’ menemukan hidayah-Mu segera. Terima kasih Tuhan Kau wujudkan mimpi ini selalu lebih indah dengan cara yang indah dari setiap ekspektasi yang manusia bayangkan. Dan sungguh, rencana-Mu benar-benar indah. Hanya terkadang manusia tidak sabar dalam menikmati proses dan setiap perjalanan yang Kau gariskan. Terima kasih untuk kesempatan berharga ini.
Auf Wiedersehen Lisa Marie Quelle, Lina Zimmermann, Helen Busch, Shofia Mandemachi, Darius Hofmann, Sabri Gabri, Havin und Raymond. We love you, see you in another occasion.