Sabtu, 29 Oktober 2016

خير الناس أحسنهم خلقا و أنفعهم للناس



Setiap orang yang terlahir ke dunia ini membawa dan memiliki potensi hebat yang berbeda-beda. Dimana potensi itu akan terlihat, tersalurkan dan berguna setelah ia dipoles dan diasah. Melalui pendidikan setiap orang mengekspresikan bakat dan minat mereka untuk menjadi sesuatu yang nyata dan berguna bagi dirinya, masyarakat, dan komunitasnya. Setiap orang berhak dan harus membuat lembaran sejarah dalam hidupnya. Sejarah yang penuh dengan warna warni kehidupan. Sejarah yang berguna dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dengan belajar ia telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan orang banyak. Dengan belajar ia telah mengabdikan dirinya dan berbakti kepada orang tua beserta keluarganya. Dengan belajar ia berusaha berjuang dan bersungguh sungguh untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Dengan belajar ia mengajarkan kepada orang lain disekitarnya yang belum mengetahui. Dengan kemampuan., kemauan dan tekad kuatnya untuk belajar ia menghargai dirinya sendiri dan para pahlawan pejuangnya. Dengan belajar ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakannya. Dengan belajar ia mengisi kemerdekaan negara dan bangsanya. Dengan belajar ia menimbun bekal dan kematangan untuk dapat bersaing, berkolaborasi, bekerjasama, demi membangun masyarakat sekitarnya untuk menjadi lebih baik dari berbagai aspek. Inilah langkah awal seorang pembelajar sejati untuk mengabdikan diri bagi kepentingan kedepan yang lebih besar.
Manusia yang paling berharga ialah manusia yang paling banyak berkontribusi dan bermanfaat, berguna bagi  orang lain. Menjadi bermanfaat tidak harus menunggu hal yang besar. Sekecil apapun perbuatan kita yang mampu menolong, meringankan, membantu, mendorong, memotivasi orang lain untuk lebih baik bahkan maju, kita sudah memiliki nilai. Sampai pada hal membahagiakan orang lain pun ketika ia sedih, tersenyum, memberi hal kecil dengan penuh keikhlasan, bersikap teladan, baik dan ramah itu sudah sebuah nilai manfaat.
Ketika kita memiliki kelebihan barang sedikit, dan kita pergunakan untuk orang lain, kita korbankan demi kepentingan orang lain, dengan catatan tanpa mengorbankan kebutuhan kita, itu sudah sebuah manfaat. Karena di dalam kebaikan yang kita lakukan, akan melipatgandakan keberkahan dan kebaikan bagi diri kita sendiri. Kita tidak perlu ragu dan takut akan kerugian. Karena di dalam perbuatan baik tidak ada kerugian apabila kita meyakini dalam pikiran dan hati kita. Kebanyakan dari kita selalu berpikir jika manfaat itu diukur dari materi atau banyaknya uang yang kita miliki. Namun sekali lagi kebaikan apapun yang kita abdikan kepada orang lain itupun bermanfaat dan tidak ada yang sia-sia.
Jika kita alihkan perihal kebermanfaatan ini dalam bidang profesi, maka setiap orang yang telah belajar dan menyelesaikannya dengan tuntas dan baik, kemudian ia bekerja, berbuat, berkorban, berjuang, dan berusaha mengabdikan dirinya sesuai kemampuan di bidnagnya masing-masing, maka ia telah berguna bagi dirinya dan komunitasnya. Sebagai contoh seorang guru dan dosen, ia akan bermanfaat jika ia bersungguh-sungguh untuk mencerdaskan anka didiknya baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Di luar sekolah ia mendiidk masyarakat sekitarnya memalui berbagai kegiatan, acara, semianr, perkumpulan, bahkan dengan penuh pendekatan kemanusiaanya. Atau pendekatan manusiawinya. Di sisi akademisnya, ia rutin untuk membuat jurnal, laporan penelitian, tulisan, ikut beropini, berpendapat, memberikan solusi, lewat berbagai media sosial, media tulis, media cetak dan sebagainya. Maka ia telah menunaikan tugas dan kewajibannya sebagai guru yang hebat. (tir darma perguruan tinggi).
Sebagaimana pula dengan dokter, ia menolong, menenangkan, dan membantu mengembalikan kesehatan orang lain, deng sepenuh tenaga dan ilmu kedokterannya ia berusaha yang terbaik bagi pasiennya, mengadakan eksperimen untuk mencari penawar beberapa penyakit, memperdalam ilmu kedokterannya sampai keluar negeri , maka ia telah memberikan sumbangan besar bagi ummat manusia.
Begitu pula seorang pemusik, penyanyi, penari, pelukis, pemahat, arsitek, designer dan artistik alinnya, ia memberikan kontribusi pada keindahan dan estetika seni bagi jiwa manusia. Menghilangkan segala kepenatan pikiran dan badan manusia, dengan melodi-melodi indah, ritme, irama, yang mengalun terdengar bagi manusia.
Para staff karyawan, kru media cetak dan elektronik, kehadiran mereka sangat penting bagi penyampai informasi kepad publik dan masyarakat, memalui mereka publik menjadi up-date dan mengetahui berita, informasi, pengetahuan yang tujuannya untuk penyebaran dan mencari soplusi pemecahan masalah bersama.
Pedagang yang menjual barang dan kebutuhan pokok, tanpa mereka kita tidak dapat apa-apa.
Sampai kepada hal yang mungkin dianggap sebagian orang rendah, adalah pebantu, padahal peranannya bagi orang lain sangat urgen dan penting. Karena ia meringankan beban tuannya. Membantu menyelesaikan pekrjaan orang lain. Dan senada halnya denagn supir taksi, bus, keberadannya yang tidak dapat kita pungkiri akan jasa pentingnya mereka dalam mengantar jemput manusia untuk bekerja, dan beraktifitas lainnya. Maka dalam hal ini tidak adan pekerjaan yang dapat kita remehkan, semua bertijalan denagn alur yang tertib, baik, dan memiliki peran yang utama bagi memenuhi ke[pentingan sesamanya. Dan tukang koran yang mengantarkan koran, pelaayn kopi jasa-jasa dan pengabdian mereka sangat berharga. Maak penghargaan setinggi-tingginya diberikan bagi orang yang bekerja. Lain hal dengan orang yang hnaya megaggur, namun ia masih sehat, tidak cacat, tidak ada kekurangan, maka ia tidak menyadari akan potensi dalamdirinya, ia menyiakan-nyiakan kebermanfaatan dirinya. Dan belum melukiskan sejarah bagi orang lain, kesan yang berharga bagi kelangsungan sesamanya.
Orang yang besar adalah orang yang paling bermanfaat dan seberapa besar kontribusinya bagi kelangsungan sesamanya. Hal ini tidak dilihat dari tingkatan dan jenis prifesinya, selama ia menyadari bahwa ia memiliki kepentingan untuk kemaslahatan ummat maka ia adlah orang penting, bernilai dan berharga. Tidak peduli brgaji atau diberi gaji, yang penting dalam sebuah kebermanfaatan adalah kepuasan batin dalam diri orang yang bermanfaat abgi orang lain.
Sebuah contoh, ketika saya lebih memnetingkan urusan saya dan mengabaikan untuk membantu orang lain yang sedang kesulitan, seketika ia menghadapi kesulitan itu sendiri, lalu pergi berlalu, saya merasakan penyesalan karena tidak membantunya barang sebentar. Dan saya sadar saya telah kehilangan kepuasan batin saya, meski diberi penghargaan atau tidak dari orang lain, saya telah menyia-nyiakan kesempatan dati tuhan untuk berbuat baik. padahal saya tidak tahu kepannya apakah saya masih memiliki waktu untuk melakukan perbuatan baik sedetik, semenit, sejam, sehari, sebulan, setahun bahkan dimasa mendatang.
Saya tersadar, manusia tidak ada alasan untuk tidak selalu menjadi baik. karena menjadi baik itu pilihan kita, dan kita tidak boleh bosan pada kebaikan.
Dan satu hal yang terepenting adalah kita tidak perlu seberapa besar kebaikan yang telah kita lakuakn pada orang lain, karena hal itu akan membatasi dan membuat kita enggan, dan memilih milih dalam kebaikan, namun yang perlu kita pikirkan adlaah kebaikan yang telah orang lain lakukan daberikan dan korbankan kepada kita, bagaimana cara kita untuk mebalas kebaikan itu denagn hal yang lebh baik. dari kebermanfaatan kita dalam melakukan kebaikan terhadap sesama akan menjadi benih-benih harmonisasi kehidupan dan pondasi aswal dalam membina perdamaian dunia. Dan membuka pikiran dan wawasan kita bahwa menilai baik buruk seseorang tidak ada kaitannya dengan etnis, ras suku, agama dan bangsa. Itu semua bermula pada pancaran ketulusan kita dalam mengenal orang lain, berpikiran positif terhadapnya, menganggapnya, emgakuinya dan menghargai keberadaannya.

Jumat, 28 Oktober 2016

Secercah Cahaya Bersama Professor Sosiologi Agama

..."Jika suatu saat kau pergi sekolah ke Kanada, jangan lupa untuk mengenakan jaket yang tebal tatkala musim dingin menyerang. Andai cuaca di Kanada hanya panas, dapat teratasi dengan AC di balik ruangan. Namun jika cuaca dingin menggigit kulit tubuh kita, aneh rasanya jika diatasi dengan pemanas ruangan, namun keindahan musim semi tak akan pernah kau lupakan"...ungkap beliau di tengah perkumpulan yang kami adakan. Sesosok yang sederhana, namun penuh wibawa dan kerendahan hati. Pengamat sosial masyarakat. Lulusan budaya pesantren agama yang kental. Serius namun tetap dapat bercanda. Sosok yang menjunjung tinggi pribadi dan akhlak mulia. Cendekiawan sekaligus professor muda. Bapak guru kami tercinta yang akan saya sebut namanya di akhir kata.
Mengawali pembicaraan beliau mengantarkan sejenak dengan motivasi semangat menuntut ilmu. Kanada, yang menjadi pilihan beliau pada saat studi pasca sarjana, dan Negeri kincir angin, menjadi pilihan beliau pada S3. Satu-satunya orang Indonesia yang terpilih ketika seleksi masuk perguruan tinggi amat bergengsi di masa beliau. Tahun 2000-an yang sudah ketat persaingan. Memang, hidup penuh persaingan, perlombaan, untuk menjadi yang terbaik dan paling mampu untuk bertahan (survive). Berlomba dengan diri sendiri, untuk senantiasa menjadi lebih baik, hari demi hari. Berlomba dengan manusia lainnya, mengasah keunggulan, dengan cara yang sportif, tidak saling menginjak, namun tetap saling memberi dorongan satu sama lain.
Perubahan zaman yang bermula dari era agraris (pertanian), berlanjut era industri, dan kini era teknologi dan informasi yang sangat canggih. Dunia yang dulunya bulat, sekarang disebut flat. Alias dunia sekarang adalah datar. Sekat ruang dan waktu dapat dijangkau hanya dengan hitungan per mili-detik. Surfing on the Internet. Berselancar yang sangat mengasyikan, menerjang ombak yang kadang dapat membawa kesenangan, dan tidak sedikit pula kesengsaraan. Perbandingan lurus antara positif dan negatif, hampir-hampir sama besarannya. Pada akhirnya, diri sendiri-lah yang harus lebih pintar dalam mengatur ponsel pintar (smart-phone). Budaya masyarakat yang semakin konsumtif dan hedonis, mudah tergiur oleh bujuk rayu aneka iklan yang terpampang dan tak terhitung jumlahnya. Kesenjangan hidup masyarakat yang sangat kentara dirasakan. Si kaya versus si miskin. Yang kaya kadang tambah kaya, atau sampai pada kaya itu saja, dan yang miskin, mewariskan kemiskinannya turun-temurun. Keserakahan harta yang tidak berkesudahan, akibat jauhnya tuntunan agama dalam keseharian. Sejatinya dunia dan seisinya mampu memenuhi kebutuhan manusia di dalamnya, dengan lebih dari cukup, namun ketamakan tadi mengalahkan kecukupan itu sendiri. Pemuasan hawa nafsu dan akal semata. Bukan pada kekayaan dan kebahagiaan nurani hati. Kekayaan alam yang rakus dalam eksploitasi, dimana keuntungannya, hanya dirasakan sesaat saja bagi segelintir masyarakat. Batu bara, penebangan hutan liar, mengakibatkan kerusakan jangka panjang. Lupa akan tanggung jawab, kode etika, nilai moral, akhlak terhadap alam, manusia, terlebih kepada Tuhan yang menciptakannya. Sangat dirasakan akan cerminan dari spirit dan ruh agama yang rendah. Ibadah yang dijalankan hanyalah saja ibadah, seakan tidak ada pemaknaan dan kekhusyu'an di dalamnya.
Kembali pada negeri ku. Di mana pembehanan besar-besaran harus serius dilaksanakan. Negeri-ku yang memiliki sejarah kemerdekaan yang hebat luar biasa. Pencapaian kedaulatan yang diraih dengan semangat persatuan dan kesatuan, di tambah sikap keberagamaan yang tinggi. Maka tidaklah berlebihan, jika negeri-ku diberkahi oleh Tuhan. Banyak yang mengatakan Indonesia adalah titisan dari setitik surga. Hanya setitik. Pulau-pulau yang banyak terbentang,  berjarak tidak dekat, suku-suku yang beraneka ragam, dan bahasa yang bermacam-macam. Semua menjadi saksi atas kebersamaan dalam perjuangan. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku bangga jadi orang Indonesia. Aku memiliki sejarah yang mulia. Perebutan negeri yang dilawan dengan tumpah darah para pahlawan.
Hanya saja kemudian. Dari kacamataku, entah karena rapuhnya keimanan. Semangat berilmu yang tidak diamalkan. Atau sisa-sisa mind-set penjajahan. Indonesia-ku entah bagai angan untuk sampai pada kemakmuran dan kesejahteraan secara keseluruhan. Terlalu sulit untuk memikirkan solusi dari segala permasalahan tersebut. Ibarat akar, yang sudah tertanam kuat. Pembersihan tindak korupsi, narkoba, prostitusi, dan mental disorder lainnya. Patologi sosial yang terus berkembang. Maka tidak lah salah pula, jika di mulai dari introspeksi pribadi diri sendiri. Kita harus bangun dari nyenyaknya tidur. Pendidikan sebagai kunci utama dalam mengatasi kebodohan, mengentaskan kemiskinan, dan jalan menuju kemajuan. Kita perlu kesamaan dalam pendidikan (equal education), merata dengan fasilitas yang sama, tenaga guru yang prima dan disinilah pentingnya insklusifitas pendidikan. Andai kita dapat langsung mencontoh seperti jalannya negara maju, di mana pendidikan adalah prioritas primer dalam anggaran, dan kesehatan menempati rangking kedua sesudahnya. Karena pendidikan dan kesehatan adalah modal utama dalam menumbuh-kembangkan sumber daya manusia yang unggul dan berprestasi.
Budaya kesungguhan belajar dan sekuat mungkin melawan arus hegemoni agar tidak terlarut di dalam permainannya. Di ujung penekanan adalah pondasi pendidikan agama yang harus menjadi tiang bagi setiap -mahasiswa khususnya- demi masa depan yang cerah. Kita tidak banyak muluk untuk menunggu menjadi presiden yang memiliki kekuasaan dan paksaan. Di negeri Islam terbesar yang amat demokratis ini, menjadi ulama yang intelek-pun dapat membantu kegalauan yang adalah di masyarakat dan terkadang perkataan mereka lebih cepat untuk di dengar dan dipatuhi. Pemimpin dalam teori politik, adalah seorang yang dicintai dan ditakuti. Namun dalam Islam pemimpin adalah sosok yang dicintai karena kearifannya dan ditaati karena kepatuhan dan kesadarannya.
Bersama beliau, bapak Mujiburrahman, dalam menyongsong masa depan yang lebih baik.

Minggu, 09 Oktober 2016

Di Antara Dua Serigala



Sadarkah kita sebagai manusia, bahwa di dalam diri kita ada dua jenis serigala yang tiap saat kita beri makan padanya. Dua serigala itu bagai langit dan bumi yang tak pernah terpisahkan disamping bertolak belakang. Serigala itu terus melekat dalam diri kita. Pada bagian kanan ada seekor serigala yang memiliki sifat bak malaikat penolong. Di sisi kiri ada pula seekor serigala yang serupa dengan sifat dasar iblis. Tiap detik, menit, hari, bulan dan tahun yang bergulir, ia semakin tumbuh dan berkembang. Bertambah besar untuk dapat menguasai diri kita. Tak ayal bahwa diri kita lah yang memelihara dua serigala itu dan bertanggung jawab untuk menjaga asupan makan nya. Sebuah analogi yang sederhana. Dua serigala yang tidak akan pernah bersatu, mereka terus bertarung untuk memenangkan kekuasaan dalam diri manusia.
Peace, love, happy, power and pure versus ego, arrogant, anger, attachment, and lust. Seberapa sering diri kita memanjakan ‘serigala jahat’ dengan terus memberinya makanan kesukaan; dengan sifat egois, sombong, kemarahan, nafsu dan menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhan fisik dan material semata? Dan seberapa perhatiannya diri kita dalam memelihara ‘serigala baik’ untuk terus tumbuh menuju kesempurnaan; dengan kedamaian, cinta, kebahagiaan, kekuatan, dan keikhlasan? Dan jawabannya adalah bergantung pada diri kita masing-masing. Tanpa kita sadari ketika kita berlaku egois terhadap orang lain di sekitar kita, ketika kita memuaskan nafsu dan amarah, ketika kita bersikap angkuh dan congkak pada semesta, ketika kita hanya menuntut pemenuhan material dunia, denagn sendirinya kita telah memberi banyak makanan pada serigala jahat sehingga mereka dapat berpesta merayakan kemenangannya dalam diri kita. Begitupun sebaliknya. Pada dasarnya dalam diri tiap manusia, telah ada sifat dasar alamiah layaknya serigala baik. Itulah yang dinamakan the power of giving, semangat untuk memberi atas cinta, kedamaian, kebahagiaan, kekuatan dan keikhlasan. Sifat bawaan ini akan tertutupi apabila kita tidak mencoba untuk kembali pada fitrahnya. Apabila kita  tertipu dengan indahnya (nyamannya) bentuk wujud serigala jahat yang sejatinya mengelabui diri kita. Inilah perbedaan antara spirit of giving dan spirit of getting. Terkadang kita sebagai manusia lupa untuk terus how to give dan selalu ingat untuk how to get. Itulah sebabnya mengapa banyak manusia yang ‘melulu’ hanya menuntut hak bagi dirinya dan tidak bersegera untuk menunaikan kewajibannya; terhadap Tuhan, orang lain dan dirinya sendiri.


Sabtu, 08 Oktober 2016

Seminggu Bersama ‘Goettingen’



“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu...” Andrea Hirata. Tepat dua bulan yang lalu (Agustus), aku berada di Jogjakarta untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi di salah satu Universitas Islam Negeri terkemuka di Jogja. Setelah mengikuti serangkaian tes yang sesuai dengan standar program Magister yang aku ambil, dengan waktu keberadaan di Jogja yang tersisa, aku ‘harus’ menyempatkan diri untuk mengunjungi Prambanan temple dan melihat-lihat tempat wisata unggulan Jogja tersebut. Ketika itu aku berjumpa dengan banyak sekali turis-turis asing dari negara tetangga sampai Eropa. Mereka datang untuk melihat ‘eksotisme’ yang sering dilabelkan terhadap negara-negara di Asia terlebih Indonesia. Memang Indonesia bak titisan dan pancaran surga duniawi. Namun penamaan ‘eksotisme Indonesia’ lambat laun menuai pro-kontra di kalangan para sosiolog dan akademisi. (Actually bukan ini­ main-point yang ingin ku ceritakan kali ini, but  this is about the power of dream).
Tidak hanya diri ini yang takjub dengan desain kedetilan dan halusnya arsitektur masyarakat Hindu pada abad terdahulu, wisatawan asing pun bahkan mengakuinya. Bagaimana cara kerja masyarakat zaman bahari yang dapat menciptakan ukiran sedemikian indah. Hal ini pun tak disangkal bahwa kemajuan teknologi itu sudah ada sejak lama. Namun hingga abad millenium sekarang ini belum ditemukan kejelasan referensi yang menunjukkan proses tersebut. Tidak hanya Prambanan temple, bahkan Borobudur, dan Piramid pun masih menyimpan misteri dan praduga tersendiri. Well, sepanjang perjalanan mengelilingi luasnya area candi Prambanan, aku ingin sekali dapat bisa berteman dengan para turis-turis asing tersebut. Aku ingin banyak bertanya dengan mempraktikkan skill bahasa Inggris ku yang masih messy. Tapi keinginan itu sangat kuat dan menjadi dream-list aku. Dan ketika aku kembali ke Banjarmasin sembari menunggu pengumuman kelulusan, aku bertanya-tanya dalam diri, luluskah aku nanti? Sebab aku ingin lebih lama berada di Jogja, ingin mengembalikan dari ‘sebagian yang hilang’ kemaren. Ingin total menjadi lebih baik dalam value akademik dan akhlak. Namun, ada terbesit satu mimpi yang bagi orang lain hanyalah sebuah hal yang konyol. Aku ingin kembali lagi untuk menengok candi Prambanan demi bisa bicara dengan turis mancanegara. Terdengar sedikit lucu memang, sebab sejujurnya aku ingin lagi dapat bisa mengobrol banyak dan lebih lama, bercengkrama dengan mereka (turis asing) sekaligus mengukur dan memperlancar bahasa Inggris ku yang sudah lama kehilangan proses.
Satu bulan berikutnya, puji syukur ke hadirat Allah, aku pun dinyatakan lulus pada jurusan yang sejatinya memiliki tanggung jawab besar untuk memperjuangkan hak-hak orang yang terpinggirkan dan mengembalikan ‘pendidikan’ pada hakikatnya. Satu-satunya jurusan yang ada di PT di Indonesia dan aku bersama enam orang teman lainnya sebagai angkatan pertama yang memasuki ‘konsentrasi’ ini. Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Perkuliahan dengan tugas artikel jurnal billingual language pun terus menghadang. Di sela waktu luang, ketika itu ada pengumuman untuk mengikuti seleksi wawancara berbahasa Inggris aktif untuk menjadi student-partners bagi para mahasiswa/i Islamic Studies yang berasal dari Universitas Goettingen based in Germany. Spontan aku langsung tertarik dan segra menuju tempat dimana seleksi diadakan. Berbekal bahasa Inggris yang ‘seadanya’, aku selalu akan mencoba  bismillah. Sebab dari modal ‘mencoba’ inilah, pada 2010 yang lalu pun aku diberi kesempatan untuk terbang ke Abu Dhabi hingga Alexandria, Mesir. Setidaknya, jika Tuhan belum ‘memeluk’ mimpi-mimpi tersebut, kita telah mengetahui dan dapat memperbaiki dari apa yang kurang dalam diri kita. Kalau ayahku bilang, setidaknya kamu bisa berbagi cerita kepada orang lain tentang pengalaman yang telah kamu dapatkan. Kalau kakak ku bilang, kita tidak tahu dari ‘percobaan’ mana yang akan berhasil menjadi rezeki kita. Kata-kata itulah yang selalu ku ingat dan ku pegang. You’ll never know till you’ve tried. Mengapa mundur sebelum terjun ke medan perang. Paling tidak, akan lebih baik nantinya jika kita telah mengetahui ‘bagaimana’ musuh-musuh kita. Belief and Trust. Keyakinan dan kepercayaan diri kita terhadap Allah dan kemampuan diri sebagai ajang latihan dan drive-motivation untuk be better ke depannya menjadi kunci yang selalu memelihara mimpi dan harap ku. Finally, untuk kesekian kalinya bersyukur itu memang tidak pernah ada kata berhenti. Aku bersama dengan sembilan orang teman program pascasarjana lainnya dari tingkat yang berbeda-beda terpilih untuk menjadi pendamping bagi delapan orang mahasiswa asal Jerman tersebut selama dua minggu ke depan. First impression about them and their first impression about us as an Indonesian scholars. Mereka terlihat sangat mature, dan hal ini sangat terlihat dari sikap dan penampilan mereka selama bersama kami. Tidak hanya itu, umur mereka pun sangat variatif, dan sepertinya tidak ada masalah dalam hal usia (mau tua ataupun muda) meskipun pertanyaan tentang umur adalah sebuah hal yang personal und privacy. Perbedaan budaya yang membentuk karakter masing-masing pribadi. Namun pada umumnya, salah satu budaya barat tentang kemandirian-lah yang menuntut mereka menjadi dewasa dalam sikap dan pergaulan (meski belum pada waktunya bagi kita di Indonesia). Mereka sangat dapat menghargai waktu dan memang menjadi sebuah hal yang sangat lumrah sebagai disiplin yang tinggi di luar negeri. Meski sekilas, apabila belum berkenalan lebih dekat dengan mereka, akan nampak sikap yang dingin, kaku dan sedikit cuek. Tingkat individual yang tinggi sebagaimana di Jerman, membuat mereka terkesan sedikit ‘kurang ramah’. Ketika mereka mendapati orang-orang di Indonesia, yang mayoritasnya ramah, murah senyum, mudah tertawa, suka menolong dan cepat akrab dalam berteman, membuat mereka merasa hangat berada di Indonesia. Setengah dari mereka yang datang ke UIN Sunan Kalijaga dalam rangka study tour memang bukan Muslim, namun semangat dan antusias mereka untuk mempelajari Islamic Studies di kawasan Asia Tenggara sangat tinggi. Tingkat kritis dan curiousity mereka sangat terlihat dalam setiap session kelas yang diberikan melalui pertanyaan-pertanyaan yang ditujukkan pada pemateri dan kami sebagai mahasiswa. Mereka mencoba untuk membandingkan perbedaan habitual yang ada di Indonesia dan Jerman. Mereka bertanya mengapa orang Indonesia tidak membiasakan pakai sepeda untuk pergi kemana-mana, mengapa kemudi supir di sebelah kanan, mengapa jalan di sebelah kiri, sampai pada mengapa tidak ada agama Yahudi secara official di Indonesia. Mereka bak seorang pengembara yang masih mencari kebenaran siapa Tuhannya, dan hal ini dituturkan oleh salah satu mahasiswi Jerman dengan jujurnya. Jika berbicara masalah agama di ruang publik di luar negeri pada umumnya adalah hal yang tabu dan hanya akan membuat kita kehilangan teman, maka di Indonesia tidak demikian. Itulah yang mereka suka, disamping tempat indah wisata, dan makanan khas Indonesia yang berbagai rasa. (they like to eat Bakwan karena isinya adalah sayur), sejatinya jiwa mereka adalah bebas. Bebas untuk berbuat apapun dan bebas untuk melakukan apapun dalam batas kewajaran menurut pandangan mereka. Mereka yang kebanyakan suka dengan travelling in Asia, tidak terlepas dari sikap kemandirian mereka. Semoga segala kesan yang baik dari mereka bisa menjadi motivasi bagi diri kami masing-masing. Semangat mereka yang tinggi untuk mempelajari Islamic Studies itu sendiri, bersusah payah untuk menghafalkan kosakata bahasa Arab demi literatur penunjang akademik, kemandirian mereka dalam hidup, bekerja untuk tidak ketergantungan pada keluarga lagi, menabung tahunan untuk dapat travelling keliling dunia, budaya dan kualitas disiplin akademik yang kritis, bisa mendorong diri ini khususnya menjadi lebih baik lagi. Dan semoga budaya khas Indonesia pada umumnya, yang menjunjung kearifan lokal, kesopanan dan kesantunan dapat dibawa dalam alam bawah sadar diri mereka pula. Pembatasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang masih menjadi perbedaan yang mencolok diantara kita dengan mereka. Mereka yang sangat sulit untuk percaya dengan orang lain. Mereka yang sangat selektif dalam memilih. Mereka yang tidak terlalu concern dengan berbagai macam sosial media, hanya ada messenger untuk komunikasi dengan international people dan whatsapp untuk komunikasi yang lebih bersifat pribadi. (sangat berbeda dengan orang Indonesia yang memakai semua jenis sosmed). Mereka yang hanya suka makan potatoes, vegetable, and coffee dalam kesehariannya. Mereka yang sangat apresiasi sekali pada sebagian dari kami yang telah belajar bahasa Arab sejak bangku sekolah, turut membakar semangat kami untuk terus mempelajarinya lagi. Semua adalah pembelajaran singkat dan perkenalan yang ingin ku bina lebih lanjut. Semoga kelak Tuhan memeluk mimpi-mimpiku lainnya untuk dapat berada di antara mereka, suatu saat suatu waktu dan dalam waktu dekat ini. Aamiin. Dan semoga mereka yang masih ‘mencari’ menemukan hidayah-Mu segera. Terima kasih Tuhan Kau wujudkan mimpi ini selalu lebih indah dengan cara yang indah dari setiap ekspektasi yang manusia bayangkan. Dan sungguh, rencana-Mu benar-benar indah. Hanya terkadang manusia tidak sabar dalam menikmati proses dan setiap perjalanan yang Kau gariskan. Terima kasih untuk kesempatan berharga ini.
Auf Wiedersehen Lisa Marie Quelle, Lina Zimmermann, Helen Busch, Shofia Mandemachi, Darius Hofmann, Sabri Gabri, Havin und Raymond. We love you, see you in another occasion.